Tafsir Hamdalah
Posted by Unknown on Wednesday, November 12, 2014 | 0 comments
الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-Fatehah : 2)
الْحَمْدُ : Menurut bahasa arab berarti “Pujian yang sempurna”
...Pujian
kebalikannya celaan, lebih umum artinya ketimbang "syukur" karena
syukur atau terima kasih adalah sebuah ungkapan sebagai balasan atas
kenikmatan yang telah diterima seperti ungkapan "aku berterima kasih
atas kebaikannya" sedangkan pujian bisa terjadi atas dasar sekedar
kekaguman semata "aku memuji ketampanannya, ikmunya, pribadinya dll."
Diberi
tambahan “Al” berfaedah sebagai “Istighroq lil-jins” artinya mencakup
segala jenis pujian yang bila dijabarkan bentuknya ada empat macam :
1.
Qodim ‘ala Qodim (Pencipta terhadap Dirinya Sendiri) maksudnya adalah
Allah Swt memuji kepada Dirinya Sendiri , hal ini Adalah patut , karena
yang pantas sombong hanya Allah Swt semata , makhluk ciptaanya tidaklah
pantas menyombongkan diri. Hal ini banyak terdapa dalam Al-Qur’an ,
terutama saat menerangkan tentang Asmaul Husna .
2.
Qodim ‘ala Huduts (Pencipta memuji terhadap makhlukNya) maksudnya
adalah Allah memberikan penghargaan atau meningkatkan derajat kepada
mahlukNya . Contohnya saat Isro’ Mi’roj Rosululloh Saw . “Innalloha wa
malaaikatahu yusolluna alannabiyyi…” ,Artinya “Sesunggahnya Allah SWT
dan para malaikatnya menyampaikan salam kepada Nabi (Muhammad SAW)….”
3.
Huduts ‘ala Qodim (Mahluk terhadap Pencipta) maksudnya kita sebagai
mahluk wajib memuji kepada Allah SWT , Hal ini pasti kita lakukan saat
melakukan sholat atau berdoa.Hal ini telah di contohkan oleh Rosululoh
saat beliau melihat segala hal yang beliau senangi, beliau selalu
mengucapkan hamdalah.
4.
Huduts ‘ala Huduts (Makhluk terhadap makhluk) maksudnya kita sebagai
mahkluk diperbolehkan untuk memuji atau memberikan penghargaan kepada
orang lain sesama makhluk.
Karena di antara fenomena umum yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, adalah fenomena pujian.
Secara garis besar, pujian bisa diklasifikasikan dalam 3 bentuk :
1.Pujian yang diucapkan untuk menjilat,
2.Pujian yang sifatnya hanya basa-basi belaka,
3.Pujian yang diucapkan sebagai ekspresi kekaguman.
Bila
disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa menjadi modal
positif yang dapat memotivasi kita agar terus meningkatkan diri. Namun,
kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa daratan,
lepas kontrol, dan seterusnya. Semakin sering orang lain memuji kita,
maka semakin besar potensi kita untuk terlena, besar kepala, serta
hilang kendali diri. Padahal Allah Swt. mengingatkan dalam firmanNya:
"Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling
mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Najm; 32).
Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi Saw. memberikan 3 kiat yang sangat menarik untuk diteladani:
1.
Selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh pujian yang
dikatakan orang. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau,
Nabi Saw. menanggapinya dengan doa: “Ya Allah, janganlah Engkau hukum
aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Al-Bukhari)
Lewat doa ini, Nabi Saw. mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang
lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang
mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya. Orang lain yang
melontarkan ucapan, tapi malah kita yang terjerumus menjadi besar kepala
dan lepas kontrol.
2.
Menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak
diketahui orang lain. Karena, sebenarnya, setiap manusia pasti memiliki
sisi gelap. Dan ketika ada seseorang yang memuji kita, maka itu lebih
karena faktor ketidaktahuan dia akan belang serta sisi gelap kita
miliki. Hal ini bukan berarti kita boleh memelihara sisi gelap tersebut ,
tapi jadikan sisi terang kita sebagai modal untuk menerangkan hati.
Oleh sebab itu, kiat Nabi Saw. dalam menanggapi pujian adalah dengan
berdoa: “Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari
diriku)”. (HR. Al-Bukhari)
3.
Kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain tentang kita adalah benar
adanya, Nabi Saw mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk
dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain. Maka kalau
mendengar pujian seperti ini, Nabi Saw. kemudian berdoa: “Dan
jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR. Al-Bukhari).
Selain memberikan teladan kiat menyikapi pujian, Nabi Saw. dalam
keseharian beliau juga memberikan contoh bagaimana mengemas pujian yang
baik. Intinya, jangan sampai pujian yang terkadang secara spontan keluar
dari bibir kita, malah menjerumuskan dan merusak kepribadian sahabat
yang kita puji.
Ada beberapa teladan yang dapat disarikan dari kehidupan Nabi Saw. saat memuji yaitu di antaranya:
1.
Nabi Saw. tidak memuji di hadapan orang yang bersangkutan secara
langsung, tapi di depan orang-orang lain dengan tujuan memotivasi
mereka. Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang
Islam. Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan
zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya
dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui
pergi, Nabi Saw. memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung
kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau
menambahi “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah
Orang (Badui) tadi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Thalhah ra.)
2.
Nabi Saw. lebih sering melontarkan pujian dalam bentuk doa. Ketika
melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas ra. dalam mendalami tafsir
Al-Qur’an, Nabi Saw. tidak serta merta memujinya. Beliau lebih memilih
untuk mendoakan Ibn Abbas ra.: “Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu
agama dan ajarilah dia ilmu tafsir (Al-Qur’an).” (HR. Al-Hakim, dari
Sa’id bin Jubair)
Begitu
pula, di saat Nabi Saw. melihat ketekunan Abu Hurairah ra. Dalam
mengumpulkan hadits dan menghafalnya, beliau lantas berdoa agar Abu
Hurairah ra. dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah
dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah Swt. dan
menjadikan Abu Hurairah ra. sebagai Sahabat yang paling banyak
meriwayatkan hadits.
Pujian
yang dilontarkan orang lain terhadap diri kita, merupakan salah satu
tantangan berat yang dapat merusak kepribadian kita. Pujian dapat
membunuh karakter seseorang, tanpa ia sadari. Oleh karena itu, ketika
seorang Sahabat memuji Sahabat yang lain secara langsung, Nabi Saw.
menegurnya: “Kamu telah memenggal leher temanmu.”(HR. Al-Bukhari dan
Muslim, dari Abu Bakar ra.) Senada dengan hadits tersebut, Ali ra.
berkata dalam ungkapan hikmahnya yang sangat populer, “Kalau ada yang
memuji kamu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya
dengan debu, daripada kamu terbuai oleh pujiannya.”
Namun
ketika pujian sudah menjadi fenomena umum di tengah-tengah masyarakat
kita, maka yang paling penting adalah bagaimana menyikapi setiap pujian
secara sehat agar tidak sampai lupa daratan dan lepas kontrol;
mengapresiasi setiap pujian hanya sebagai topeng dari sisi gelap kita
yang tidak diketahui orang lain; serta terus berdoa kepada Allah Swt.
agar dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang.
Selain
itu yang tidak kalah pentingnya, kalaupun perlu memuji seseorang adalah
bagaimana bisa mengemas pujian secara sehat.. Toh memuji tidak mesti
dengan kata-kata, tapi akan lebih berarti bila diekspresikan lewat
dukungan dan doa. Sehingga dengan demikian, kita tidak sampai
menjerumuskan orang yang kita puji.
0 comments for "Tafsir Hamdalah "
Leave a reply